BSYoGpClBUMpGUzoTfr8GUC0TA==

Realitas Sosial di Pondok Pesantren Al Hasan Salatiga dan Praktik Teori Sosiologi Komunikasi

Berikut realitas sosial yang terjadi di Pondok Pesantren Al Hasan Salatiga yang menerapkan berbagai teori Sosiologi Komunikasi.


Ilustrasi kajian Mosba bersama Kyai Maarif di Pondok Pesantren Al Hasan Salatiga (Dok. Asifba Project)
 

ASIFBAPROJECT - Pondok pesantren Al-hasan adalah pondok yang berbasis al-qur’an. Pondok ini dipimpin oleh kyai Ma’arif. Beliau menerapkan sistem pembelajaran sorogan, bandongan dan wetonan. 

Setiap pagi setelah subuh, santri mengaji al-qur’an langsung kepada bapak kyai Ma’arif menggunkan sistem sorogan. Sore hari menjelang maghrib, seluruh santri mengkaji kitab kuning dengan sistem bandongan. 

Setelah maghrib, seluruh santri melakukan murojaah bersama teman-temannya di aula dengan sistem wetonan. Dan malam setelah isya, santri mengaji dengan sistem sesuai kelasnya.

Santri di pondok ini sangat beragam. Mulai dari usia SMP hingga kuliah. Oleh karenanya kegiatan di pondok ini dirancang agar tidak memberatkan bagi sebagian kalangan. 

Kegiatan di pondok ini dimulai pagi hari. Diawali dengan jamaah sholat subuh, sorogan, hingga ngaji malam. Semua kegiatan santri digerakkan oleh pengurus pondok. 

Biasanya pengurus membunyikan bel peringatan sebelum kegiatan dimulai dan mengajak teman-temannya untuk ikut dalam kegiatan tersebut.

Pada waktu senggang, biasanya sesama santri sering berkumpul bersama untuk membahas sesuatu atau sekedar bercanda. 

Dalam perkumpulan tersebut,  santri tidak lagi mempedulikan usia. Sehingga teman-teman dari SMP, MTs SMA, MA maupun kuliah duduk dan bercanda bersama. 

Tidak jarang mereka latihan dan belajar bersama. Saling mengingatkan dalam hal kebaikan kepada temannya adalah salah satu hal yang membudaya di pondok ini.

Saat diluar pondok,  mereka tetap menjaga silaturahmi. Di pondok ini tidak ada musuh. Semua santri dianggap sebagai teman. Sehingga jika diluar pondok mereka berpapasan, akan saling menyapa dan membantu jika perlu. 

Bahkan dengan lawan jenisnya. Misalnya santri putra berpapasan dengan santri putri biasanya akan terjadi saling sapa meskipun mereka tidak tahu namanya.

Saat berkomunkasi dengan kyai, umik, atau masyarakat sekitar, santri biasanya menggunakan bahasa jawa krama. Santri selalu sopan dan berakhlak  dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. 

Disamping itu santri juga sering membantu masyarakat. Sehingga masyarakat sekitar menganggap keberadaan santri di pondok ini. Masyarakat juga mengenal santri sebagai pelajar yang sopan, berakhlak, dan berjiwa islami.

Melalui berbagai aktivitas dan interaksi sehari-hari tersebut, terbentuk sistem komunikasi sosial. Analisisnya akan dijabarkan dibawah ini.

 

Analisis Sistem Komunikasi Sosial di Pondok Pesantren Al Hasan Salatiga

Pada dasarnya, sistem komunikasi sosial dibentuk dari interaksi antar individu, individu dengan kelompok, hingga antar kelompok. 

Melalui proses interaksi dan komunikasi yang konsisten akan terbentuk sebuah sistem komunikasi sosialSistem komunikasi terdiri dari berbagai komponen. Setiap komponen akan bekerja sesuai posisinya.

Komponen sosial di pondok pesantren Al Hasan terdiri atas santri, kyai, keluarga ndalem dan masyarakat. Santri terbagi lagi menjadi pengurus dan santri biasa. 

Santri pengurus merupakan santri yang diberi amanat dari ndalem untuk mengurus pondok pesantren. Mulai dari menggerakkan santri untuk mengikuti kegiatan hingga kepengurusan administrasi pondok.

Kyai berperan untuk memimpin pondok pesantren. Seorang lurah sudah sewajarnya memimpin kepengurusan pondok. Pengurus juga harus menjalankan peran sesuai dengan divisinya. 

Dan santri biasa memiliki kewajiban untuk berperilaku dan berpenampilan islami dalam menuntut ilmu di pondok pesantren. Sehingga tercapai sebuah keseimbangan sosial.

Keseimbangan sosial di pondok ini tercapai apabila sistem sosial bekerja sesuai dengan  kebutuhan sosial dan posisi sosial. 

Jika seorang pengurus tidak bekerja, maka santri akan seenaknya sendiri di pondok yang akan mengakibatkan konflik dengan keluarga ndalem. Karena keluarga ndalem merasa aneh dan meganggap gagal dengan sistem kepengurusan pondoknya.

Berdasarkan kajian tersebut, dapat disimpulkan jika hal tersebut merupakan praktek dari teori fungsionalisme struktural

Karena teori ini menyatakan jika setiap masyarakat yang bekerja dalam sebuah sistem yang terstratifiksi dan semuanya berfungsi sesuai kebutuhan sistem sosial. Jika salah satu sistem sosial tidak bekerja, maka sistem sosial akan kacau.

Saat kyai menegur santrinya, biasanya menggunakan tindakan tertentu. Misalnya pelayanan ngaji sorogan yang cukup lama. Hal ini terjadi karena santri hanya sedikit yang mengaji. 

Ketika santri tidak sholat subuh berjamaah, santri hanya setoran hafalan tanpa simakan. Ketika santri berperilaku kurang baik, biasanya kyai akan menyindirnya ketika ngaji bandongan. 

Sehingga seorang kyai berfikiran jika melalui tindakannya akan menyadarkan santrinya. Karena kyai berkepentingan dalam mendidik santrinya.

Dari perilaku di atas, dapat digolongkan dalam teori kepentingan. Karena dalam teori kepentingan menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat dianggap melakukan tindakan terutama untuk memenuhi kepentingannya, yang didasarkan oleh perhitungan rasional, bukan atas dasar perasaan.

Di pondok ini juga menerapkan teori labelling. Masyarakat memberikan label kyai, santri, keluarga ndalem hingga masyarakat umum. Pada dasarnya teori labelling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan seseorang akan menjadi identitas orang tersebut dan menjelaskan bagaimana kepribadiannya. 

Dengan memberikan label kepadanya, kita cenderung untuk melihatnya secara keseluruhan tentang kepribadiannya.

Masyarakat melabeli Kyai Ma’arif sebagai kyai dan cendikiawan islam. Maka secara kepribadian seutuhnya beliau menunjukkan sikap-sikap yang diberikan masyarakat yaitu kyai. 

Sehingga ia berperilaku dan bertindak sebagai kyai. Selain itu, masyarakat melabeli santri kepada orang yang mendalami ilmu agama islam di pondok pesantren. Sehingga mereka memiliki kepribadian dan penampilan layaknya santri.

Dalam sebuah pondok pasti menerapkan teori aksi. Teori aksi melihat komunikasi sebagai inisiasi aktor untuk menyampaikan pesan kepada aktor atau orang lain. 

Asumsi dasar teori ini adalah individu memiliki kemauan dan ruang untuk bertindak dalam rangka menyampaikan gagasan dan pengetahuannya. Prakteknya, kyai selalu menyampaikan gagasan dan pengetahuannya. 

Melalui mengaji bersama santrinya, seorang kyai akan memberikan seluruh pengetahuannya secara jelas. Tidak jarang jika Kyai Ma’arif mengatakan hal berikut, 

“Kalau aku tau, akan aku kasih tau ke kalian semua sebatas kemampuanku. Jika aku tidak tau maka aku akan menjawabnya tidak tahu. Aku tidak akan menyembunyikan ilmuku sedikitpun kepada siapapun yang mau belajar disini.” ujar Kyai Maarif.***


Komentar0

Type above and press Enter to search.