![]() |
Ilustrasi desainer grafis yang sedang bekerja di depan komputer dengan wajah lelah, menggambarkan tekanan dan tantangan dunia desain percetakan./Asifba Art
Asifbaproject.com - Menjadi seorang desainer grafis memang terlihat keren, apalagi kalau sudah mahir mengoperasikan software seperti CorelDRAW, Photoshop, atau Illustrator. Tapi tahukah kamu? Di balik hasil desain yang kamu lihat di spanduk, brosur, undangan, atau banner cetak, ada perjuangan mental dan fisik seorang desainer percetakan yang sering kali tidak terlihat. Pekerjaan ini bukan hanya soal kreativitas, tapi juga soal kesabaran menghadapi revisi tak berujung dan klien yang suka ngeyel.
Fakta pahitnya, jadi desainer di dunia percetakan itu penuh tekanan. Bayangkan harus menyelesaikan desain dalam waktu singkat, menghadapi file dari klien yang asal jadi, ditambah harus menyesuaikan warna agar hasil cetaknya sesuai ekspektasi. Tidak sedikit pula yang harus bekerja lembur karena deadline mendesak, sementara hasil kerja seringkali tidak dihargai sebagaimana mestinya.
Artikel ini akan membongkar realita yang jarang diketahui banyak orang tentang profesi desainer di percetakan. Mulai dari revisi tanpa ujung, file asal jadi dari pelanggan, tekanan cetak cepat, hingga soal mental yang sering terabaikan. Kalau kamu seorang desainer, mungkin kamu akan merasa relate. Kalau kamu bukan desainer, kamu akan mulai paham — bahwa pekerjaan ini memang tidak semudah yang terlihat.
Video Singkat Cerita Kelam di Balik Pekerjaan Desainer Percetakan – Capek Mental & Fisik, Tapi Jarang Dianggap!
Buat kamu yang malas baca sampai akhir, kami sudah membuatkan video singkat mengenai cerita duka desainer grafis percetakan yang jarang diketahui banyak orang.
1. Revisi
Tanpa Akhir.
Pernah nggak kamu ngedesain sesuatu, terus dikomentari,
“Boleh nggak tulisannya digeser sedikit?”
Oke. Aku geser.
“Coba font-nya diganti mirip Comic Sans ya, tapi jangan
terlalu mencolok.”
Ganti lagi.
“Font-nya udah oke, tapi bisa nggak warnanya dibikin agak
elegan… tapi jangan terlalu elegan.”
Setelah diganti, masih aja revisi.
“Mungkin warna background-nya kurang hidup, di gradasi aja.”
Sampai akhirnya revisi ke-7, klien bilang:
“Kok kayaknya yang awal lebih enak ya. Balikin aja ke yang
pertama.”
Dan di situ... aku cuma tarik napas panjang.
Revisi kecil-kecil gitu kelihatannya ringan, padahal bisa menguras energi
dan waktu luar biasa.
Kadang, jadi desainer itu rasanya kayak pemain sulap yang
harus baca pikiran klien… yang bahkan dia sendiri nggak yakin maunya apa.
2. Sering Dipandang Sebelah Mata.
“Kerja kamu apa?”
“Desainer grafis, Mas.”
“Oh... berarti cuma duduk depan laptop ya, tempel-tempelin gambar?”
Iya. Duduk.
Tapi sambil mikir estetika, konsistensi, marketing, psikologi warna, dan
deadline yang mepet.
Dan semua itu, sering nggak kelihatan… sampai hasilnya viral
atau dipakai brand besar.
Atau,
“Cuma gambar tempel doang. Saya juga bisa kok.”
Itu kalimat yang udah sering aku dengar.
Padahal... desain itu bukan cuma soal ngatur tulisan dan
gambar.
Di balik satu desain, ada riset ide, pemilihan warna,
pemilihan font, penyesuaian mood visual, dan tentu saja kreativitas.
Tapi tetap aja… banyak yang nganggap kerjaan desain itu
remeh.
Mungkin karena alatnya cuma komputer dan software. Tapi
nggak semua orang bisa bikin desain yang benar, apalagi yang layak cetak.
3. Deadline Mepet, Tapi Dibayar Murah.
“Mas, bisa nggak bikin desain dan cetak sekarang? Saya butuh
satu jam lagi harus jadi.”
“Konsepnya kayak gimana, Pak?”
“Saya nggak punya konsep, terserah Mas aja deh, yang penting
cepet.”
Aku kerjain.
Revisi cepet. Cetak cepet.
Terus aku kasih invoice biaya express.
Tapi klien malah bilang:
“Wah segini? Kok mahal? Bayarnya segini dulu ya!. Sisanya
besok. Soalnya buru-buru.”
Bayarnya lebih murah dari tarif parkir 3 jam di mall. Kemudian
klien langsung pergi.
Ujung-ujungnya? Kita yang nombok ke kantor.
Desain dan Cetak udah jadi. Tapi duit malah mines. Waktu
dan tenaga jadi kebuang sia-sia.
4. Klien Punya Gambar, Tapi Gak Bisa Dicetak
Klien kirim gambar dari HP, katanya mau cetak ukuran 1 x 3
meter.
Aku buka file-nya: screenshot dari status WA, ukuran 100 kb.
Pas aku bilang, “Ini kualitasnya rendah, nanti hasilnya
pecah,”
dia jawab:
“Ya nggak apa-apa, yang penting cepet. Kan tinggal print
doang.”
Aku kasih tahu pelan-pelan. Tapi dia tetap maksa:
“Pokoknya cetak aja. Nggak usah banyak alasan.”
Pas hasil cetaknya jelek, dia marah.
“Wah, kok jelek ya? Gak sesuai ekspektasi.”
“Ini sih nggak profesional, saya kecewa.”
Dan aku?
Harus minta maaf… atas kesalahan yang bukan aku lakukan.
5. Klien Punya File Master CDR, Tapi Nggak Bisa Dibuka
“Mas, ini saya udah kirim file master ya. Format CDR.”
Aku download via WhatsApp, aku buka…
Ternyata file-nya versi CorelDRAW 2024, sedangkan softwareku masih 2020.
Aku minta versi diturunin.
Tapi pas dibuka lagi…
Font-nya missing semua.
Gambar berantakan, banyak objek keluar dari powerclip.
Aku harus nyetting ulang.
Dan tahu apa katanya?
“Lho, kan itu file master. Harusnya tinggal cetak aja, Mas.”
Ya, file master tanpa struktur rapi… tetap aja neraka
buat desainer.
6. Laptop/Komputer Ngelag dan Software Crash
Lagi semangat desain, layout udah rapi, gambar udah diatur…
Tiba-tiba CorelDRAW freeze.
Aku langsung panik, tekan Ctrl + S…
Tapi semuanya udah terlambat.
File corrupted. Aku cek file backup nya, ternyata sama aja.
Cuma canvas putih aja yang tersisa.
Mau gak mau, harus mulai dari awal lagi.
Di luar mungkin kelihatan aku cuma ngedesain.
Tapi di dalam... ada kesabaran ekstra dan kopi sachet yang udah basi.
7. Warna Cetak Beda dengan Layar Monitor
Desain dari klien warnanya cerah, neon, stabilo, nyala
banget.
Pas dicetak? Kusam. Pucat.
Kenapa? Karena desainnya pakai RGB, bukan CMYK.
Padahal, aku udah konfirmasi kalo dicetak warnanya beda.
Soalnya warna cetak harus pake CMYK. Dan Warna layar itu beda sama tinta cetak.
Tapi klien maunya langsung cetak aja dan nggak ngerti apa
yang aku maksud.
Ujung-ujungnya desainer yang disalahin.
Padahal udah dijelasin dari awal.
Katanya: “Warnanya beda jauh, Mas. Ini nggak sesuai!”
Padahal desainer harus ubah warna file sesuai spesifikasi
cetak. Bukan sulap-sulapan.
8. Perbedaan Selera & Persepsi Desain
Aku bikin desain dengan konsep minimalis, rapi, clean,
dan estetik.
Tapi klien bilang:
“Kenapa tulisan kecil banget? Tarik dong ke kiri, kanan,
atas, bawah. Biar penuh.”
“Backgroundnya ganti yang meriah ya mas. Digradasi aja!.”
Hasilnya desainnya, tulisan ngeblok, mentok, dan ga ada
spasinya. Backgroudnya?. jadi kayak pelangi. Tapi, itulah yang diminta klien.
Kadang desain yang bagus di mata desainer, malah terlihat
sepi di mata klien.
Dan ya… kami tetap harus menuruti, walau dalam hati…
menangis.
9. Klien Mau Jadi Desainer Instan
Aku udah desain setengah jalan di CorelDRAW.
Tiba-tiba klien WA:
“Mas, ini saya juga bantu desain ya. Kirim aja link
Canva-nya.”
Di situ aku bingung…
Karena CorelDRAW dan Canva itu… beda planet.
Formatnya beda. Struktur file beda.
Tapi klien tetap maksa pakai hasil dia.
Desainer kerja pakai tools profesional, tapi kadang dipaksa
ikut gaya mainan.
Kesimpulan dan Penutup
Jadi kalau kamu berteman, bekerja sama, atau bahkan menjadi
pelanggan dari seorang desainer grafis…
Tolong hargai proses kami.
Karena di balik satu desain yang terlihat simple, ada waktu,
tenaga, pikiran, mood, dan detail kecil yang kamu nggak lihat.
jangan cuma bilang:
“Ah, gitu doang mah saya juga bisa.”
Tapi kamu coba dulu… bikin desain dari nol.
Desainer grafis percetakan itu bukan cuma tukang print.
Bukan tukang gambar digital aja.
Kami adalah problem solver, pemikir visual, dan penjaga estetika.
Kalau kamu berniat terjun ke dunia desain grafis di percetakan, pastikan kamu siap mental, kuat menghadapi revisi, sabar menghadapi klien, dan tahan banting soal waktu kerja. Karena jadi desainer percetakan bukan cuma soal skill desain, tapi juga soal bagaimana bertahan dalam tekanan.
Kalau kamu seorang desainer, bagikan artikel ini ke semua
sosmedmu. Supaya klienmu tau gimana keluh kesahmu.
Kalo kamu juga ngerasa artikel ini relate, jangan lupa ceritain pengalamanmu di kolom komentar.
Biar makin banyak orang sadar… bahwa desain bukan cuma
soal “gambar doang.”
Komentar0