BSYoGpClBUMpGUzoTfr8GUC0TA==

Mbah Syamsyudin: Tukang Pijat Tunanetra Pengafal Al Quran Bertarif Sosial di Kota Salatiga

Begini kisah Mbah Syamsyudin, seorang tukang pijat tunanetra di Kota Salatiga yang hafal Al Quran dan memasang tarif seiklasnya pada pasien yang ingin berobat padanya.

AL-QUR’AN BRAILLE: Mbah Syamsyudin ketika memangku dan membacakan Al-Qur’an dalam huruf braille. Dua mahasiswa meraba mushaf unik itu. (Asifba/Jurnalistik IAIN Salatiga)

Asifbaproject.com - 
 Syamsyudin, itulah namanya. Tidak hanya sebagai seorang tunanetra yang mandiri dan hafal Al-Qur’an, tetapi ia juga membantu sesama. Dengan menjadi tukang pijat bertarif sosial.

Dirumahnya, kursi sederhana di ruang tamu itu ia duduki. Sambil menunggu pasien datang, ayat demi ayat ia lantunkan agar hafalannya terjaga. 

Tak lupa sebuah handphone nokia ia letakkan di dekatnya untuk mencari dan menunggu informasi. Selain itu beliau juga berpindah untuk sekedar makan, minum atau ke kamar mandi. Inilah cara Syamsyudin dalam menunggu pasien datang.

Ketika pasien datang, ia persilahkan untuk duduk di tikar yang telah disediakan. Dengan memberikan beberapa pertanyaan, Syamsyudin mendiagnosa penyakit tamu pasiennya. 

Laki-laki itu mulai memijat bagian tubuh yang ditunjukkan oleh pasiennya. Tak lupa ia persiapkan juga ramuan untuk memijat pasiennya. Setelah ramuan siap, ia mulai memijatnya hingga sang pasien merasa membaik. Saat pasien bertanya mengenai tarifnya, ia jawab seikhlasnya.


Ya, begitulah keseharian Syamsyudin. Menjadi seorang tukang pijat rumahan yang tidak mematok tarif bagi pelanggannya. Syamsyudin adalah penyandang tunanetra. 
Dia buta sejak balita.

“Dulu saya sakit demam seperti tipes. Demam itu berlangsung beberapa bulan hingga akhirnya syaraf mata saya terbakar,” ujar laki-laki 72 tahun itu.


Nyantri Bikin Syamsyudin Semangat Hafalkan Al Quran 30 Juz

Meskipun ia berstatus sebagai tunanetra, Syamsyudin adalah seorang penghafal Al-Qur’an 30 juz. Dia termotivasi oleh orang-orang sekitarnya untuk menejadi penghafal quran. 

“Dulu belum ada keinginan untuk menghafal Tapi,kata orang-orang sekitar, orang yang hafal Al-Qur’an itu pahalanya besar, menjadi ahli surga dan lain sebagainya,” pungkasnya.

Syamsyudin mulai belajar Al-Qur’an di sebuah pondok pesantren tahfidzul quran di Suruh Kabupaten Semarang. Sebelumnya ia adalah siswa Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya sendiri. 


Lelaki tunanetra itu hanya mengandalkan pendengarannya untuk belajar Al-Qur’an. Setiap pagi, dia melakukan musafahah (belajar tajwid dari proses pendengaran) dan sore harinya menyetorkan hafalannya kepada Kyai Abdul Syukur.

Banyak halangan saat ia menghafalkan Al-Qur’an. Seperti malas, mengantuk, lelah dan bosan. Tetapi laki-laki itu tetap semangat dalam mengigat ayat-ayat Al-Qur’an. 

Saat senggang, dijalan, dimasjid atau dikamar dia bersaha bermurojaah (mengingat hafalan) yang diajarkan Kyainya. 

“Kalau sudah ngantuk, akan timbul rasa malas dan bosan. Tetapi saya tetap berusaha menghafalkan Al-Qur’an,” katanya. 


Dahulu, Mbah Syamsyudin termasuk santri yang berprestasi. Pendidikan di pondok yang seharusnya ditempuh 6 tahun, tapi ia mampu menempuhnya selama 5 tahun.


Belajar Membaca dan Menulis Al Quran dengan Huruf Braille

Setelah lulus dari pondok pesantren tahfidzul quran, pemuda itu melanjutkan pendidikannya di YKTN (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Nusantara) di semarang. 

Disana dia belajar huruf braille. Huruf yang diciptakan oleh Louis Braille, pengajar Prancis, agar orang buta tetap bisa membaca. Huruf braille memiliki susunan titik-titik lubang kecil unik, berbentuk kode, dan menjadi sebuah penanda dalam ilmu sematik.

Lelaki itu belajar membaca, menganalisa dan menulis huruf braille lebih cepat dari teman-temannya. Setelah itu dia mulai membaca Al-Qur’an yang dicetak dengan huruf braille. 


“Seharusnya belajar huruf braille itu diberi waktu 6 bulan. Tapi saya bisa menyelesaikannya selama 3 bulan. Setelah itu saya mulai membaca dan menulis ayat-ayat Al-Qur’an dalam huruf braille untuk melancarkan dan membenahi tajwid hafalan saya,” ujarnya.

MENULIS BRAILLE: Syamsyudin ketika mempraktekkan cara menulis huruf braille dengan alat tulis khusus. (Asifba/Jurnalistik IAIN Salatiga)


Menurutnya, menulis Al-Qur’an dalam bentuk huruf braille itu tidak jauh berbeda dengan menulis biasa. Dalam menulis huruf hijaiyah, yang ditulis adalah huruf gundul. Maksudnya hanya huruf hijaiyah tanpa tanda baca. Setelah ditulis, baru dilanjutkan menulis harakatnya.


Belajar Memijat Hingga Ahli, Kini Jadi Profesi

Setelah dinyatakan lulus belajar huruf braille dan hafalan Al-Qur’an di YKTN, dia mulai belajar ilmu pijat. Laki-laki itu menimba ilmu pijat memijat dengan dokter Rifki Muslim di YKTN. 

Kemudian dia sering menerima panggilan pijat di daerah Semarang dan Kendal. Hingga akhirnya ia memiliki rumah dan mulai menetap di Kendal pada tahun 1987.

Beberapa tahun kemudian, muncul teknologi baru berupa HP. Syamsyudin adalah tunanetra pertama yang lancar mengoperasikan HP di kalangan YKTN Semarang. 


Saat itu HP masih berukuran mungil dan dilengkapi keyboard fisik. Fungsinya juga hanya sebatas mengirim pesan singkat atau menelpon seseorang, sehingga ia mudah dalam mempelajarinya.

Berkat prestasinya, Syamsyudin dipilih oleh suatu organisasi penyandang cacat tingkat provinsi. Dia dipilih menjadi ketua cabang Kabupaten Kendal. Seorang ketua cabang harus mampu berkomunikasi degan pengurus cabang kota lain. 

Syamsyudin memilih menghafalkan ratusan nomor HP dari seluruh BPH (Badan Pengurus Harian) penyandng cacat di Jawa Tengah. 

“Jawa Tengah memiliki 35 kota/kabupaten. Setiap kota/kabupaten saya hafalkan nomor HP ketua, sekretaris dan bendahara. Total ada 105 nomor HP yang saya hafal,” ujarnya ketika ditemui di kediamannya di Kota Salatiga.


Syamsyudin menikah di usia 36 tahun. Bersama istrinya ia dikaruniai 2 orang anak. Semua anaknya kini sudah bergelar sarjana. 

“Saya punya dua orang anak. Alhamdulillah semuanya berpendidikan islami. Satu orang lulusan UINSIQ (Universitas Sains Al-Qur’an) Wonosobo, Jawa Tengah dan satunya lagi di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur,” pungkasnya.

Tahun 2014 lalu, ia menjual rumahnya yang di Kendal dan membuat rumah baru di Salatiga.

Bapak dua anak itu, kini tinggal di Banyuputih Timur, Sidorejo Lor, Kota Salatiga, dekat dengan Masjid Baitul Hamid dan Pasar burung Banyuputih Timur.

Di rumahnya, dia menjadi seorang tukang pijat umum. Seperti pijat capek, pegal, syaraf hingga refleksi. 

“Sekarang saya hanya dirumah sebagai tukang pijat. Dahulu, saya menerima panggilan. Sekarang, saya tidak menerima panggilan. Jadi, kalau mau pijat silakan datang kerumah. Saya tidak mematok tarif pijat, sehingga penghasilan saya tidak menentu. Dengan ini, InsyaAllah hidup saya tercukupi,” katanya.

Itulah artikel dan berita mengenai kisah Mbah Syamsyudin, seorang tukang pijat tunanetra yang bertarif sosial juga seorang penghafal Al Quran di Kota Salatiga.***

Simak update artikel dan berita lainnya di 

Komentar0